Nyanyian,
Kidung, dan Gupita
Aduh… aku masih aja ngelamun. Gara-gara kejadian
seminggu yang lalu aku jadi nggak konsen gini. Pikiranku jadi terbayang pada peristiwa itu.
“Em, Gupita, ada yang mau aku omongin.” ucap kidung
tiba-tiba.
“Apa?” tanyaku menatap tajam ke arahnya. Kidung terdiam.
Kepalanya tertunduk menyembunyikan wajahnya. Tapi tetap saja semburat merah di
pipinya terlihat jelas. Membuatku tertawa geli saja. Hihihihi
“Kok diem? Kenapa, Kidung?” tanyaku lagi.
“Pita, kita kan udah lama temenan, sejak SD sampai SMA gini
kan bukan waktu yang singkat untuk saling memahami. Apa kita nggak mau
ningkatin status hubungan kita jadi lebih dari sekedar sahabat?”
“Lebih gimana? jadi majikan dan pembantu gitu ?” candaku
sambil terkekeh.
“Maksudku kita jadian.”
“Hah? Pacaran?” tanyaku tak yakin. Kidung nyatain cinta
ke aku kan? Aku mengerjap-ngerjapkan mata tanda tak percaya. Kidung masih ada
di depanku dengan muka harap-harap-cemasnya. Berarti ini bukan ilusi kan?
Aduh.. aku seneng banget. Sampe rasanya kayak mau mati. Belum pernah sebelumnya
aku ngerasa sedekat ini pada kematian.
“Iya, sebenernya aku udah lama suka sama kamu, Pita.
Cuma aku nunggu saat yang tepat buat ungkapin ini semua. Dan aku rasa
sekaranglah saatnya. Apa kamu mau coba jalan sama aku, Pita?”
Senyumku langsung mengembang. Kidung suka sama aku? Ya
Tuhan… berarti cintaku nggak bertepuk sebelah tangan dong. Uhh! Senangnya!
Namun senyumku langsung sirna ketika mengingat amanah nenek padaku sebelum
meninggal tujuh tahun lalu.
“Kenapa? Kamu punya perasaan yang sama kan, Pita?” tanya
Kidung menangkap keresahanku.
“Maaf, Kidung. Kamu tau kan tentang amanah nenek ke aku sebelum
meninggal? Dan aku harus ngejalanin amanah itu kalau ingin nemuin cinta
sejatiku. Kidung, sebenernya aku juga sayang kamu, tapi… aku harap kamu bisa
ngerti.”
“Ahh! Kamu ini munafik, Gupita! Kalau kamu emang cinta
sama aku harusnya kamu nggak usah pikirin amanah nenekmu yang aneh itu.Toh
nenekmu udah nggak ada, dia udah nggak punya hak buat ngatur jalan hidupmu.”
Maki Kidung geram.
“Kamu yang nggak berhak ngatur jalan hidupku!” balasku
tak kalah geram.
“Ahh! Terserah kamu lah. Terus aja kamu kejar amanah
menyebalkan itu. Aku mau pulang!” ucap kidung sambil berlalu meninggalkanku
yang kini menangis. Semoga keputusan yang aku ambil tidak salah, Tuhan.
Aku menggelengkan kepala untuk menghapus bayang-bayang
peristiwa minggu lalu. Huh! Hatiku jadi panas jika mengingatnya.
Aku membuka laci meja belajar dan mengambil diaryku. Kubuka lembar demi
lembar hingga sampai pada halaman dimana aku menempelkan secarik kertas usang
di sana. Tulisan nenek. Kubaca perlahan.
Cucuku, Gupita Dharani. Satu amanah kecil yang harus kau
jaga untuk kebahagiaan surga duniamu. Cucuku, carilah jodoh yang mempunyai
sebuah nama yang bermakna sama denganmu, Gupita. Itulah cinta sejatimu. Jagalah
amanah ini seperti
kau menjaga kehormatanmu.
Nenekmu
Sigh. Baru kali ini aku
nangis cuman gara-gara baca surat nggak penting gini. Ya Allah… jangan jadikan
amanah ini beban bagi hamba.
Kenapa sih nenek harus memberikan amanah yang aneh
seperti ini. Gupita itukan nama yang sulit di temui. Lagipula, aku aja nggak
tau makna dari namaku apa. Kedua orangtuaku sudah meninggal setahun lalu karena
kecelakaan mobil. Tidak ada yang bisa aku tanyai tentang namaku. Bagaimana kalau
sampai akhir hidupku nanti aku nggak nemuin lelaki yang punya nama sama atau
bermakna sama denganku? Siapa yang menjamin kalau nanti aku nggak jadi perawan
tua! Gupita. G-U-P-I-T-A. Tiba-tiba aku merasa muak dengan namaku sendiri.
***
Hari ini aku malas berangkat sekolah. Sudah seminggu ini
Kidung diemin aku. Aku malas melihat mukanya yang selalu ditekuk menjadi tujuh
lipatan saat bertemu denganku. Uh, sebal!
Aku melangkah gontai menuju kelas. Mataku langsung
tertuju pada singgasana kebanggaanku, tempat aku duduk menimba ilmu. Mejaku
kosong. Pandanganku beralih ke bangku belakang. Ada tas hitam Volcom milik Kidung di sana. Uh! Ternyata dia masih betah ngungsi tak mau
semeja denganku. Dia lebih memilih duduk semeja dengan Broto yang dihindari
anak-anak sekelas karena hobi ngupilnya dan ditempelkan pada kolong meja itu.
Yaikk! Membayangkan saja aku sudah jijik. Terpaksa aku duduk sendirian. Oh,
sepinya!
Jam istirahat,
Aku makan siomay sendirian di pojokan kantin. Biasanya
aku di sini bersama Kidung. Jadi ingat, aku selalu menghabiskan jatah siomaynya
yang tak habis ia makan. Ahh.. ternyata aku sangat meridukan kutu kupret itu.
Aku menyapukan pandanganku ke lapangan basket. Siapa tau
ada cowok cakep yang bisa buat aku ngelupain Kidung. Malah sosok Kidung yang aku
tangkap. Dia sedang memantul-mantulkan bola hendak melemparkannya ke dalam
ring. Tubuh Kidung dibalut keringat yang membuatnya tampak mengkilat. Wauw!
Keren! Di pinggir lapangan ada sekitar enam atau tujuh orang cewek yang tepuk
tangan sambil meneriakan nama Kidung. Uhh, genit! Mereka pasti bakal bunuh diri
kalau tau Kidung pernah nembak aku. Hahaha
Kidung emang keren. Ganteng, atlet basket sekolah, Juara
umum, ramah pula sama semua orang. Pokonya perfect deh. Semua kelebihan
ada pada Kidung. Ternyata Tuhan bisa juga tidak adil.
Dan tau tidak, Di sekolah ada semacam organisasi KFC.
Bukan, bukan nama restoran junkfood, tapi Kidung Fans Klub. Yaikk! Norak banget kan. Anggotanya hampir
semua anak cewek di sekolah. Kecuali aku dan cewek-cewek yang buta akan kegantengan
Kidung. Hei, bukan karena aku buta, tapi tanpa ikut organisasi norak itupun aku sudah bisa
mendapat perhatian lebih dari Kidung. Eh, aku jadi penasaran kalau KFC tau
Kidung suka sama aku. Wah aku bias dimakan sama mereka. Hahaha. Andai aja amanah
itu nggak ada.
Ya Tuhan, hapus pikiran ini. Sekali lagi kumohon jangan
jadikan amanah ini beban. Sigh
Lebih baik kulanjutkan melahap siomay yang masih
menggunung ini. Tapi siomay super pedas yang ku pesan kok jadi terasa hambar?
***
Sebulan lagi Ujian Akhir Nasional (UAN) bakal berlangsung. Dengan
otak yang masih pas-pasan dan terkontaminasi dengan nama Kidung ini ngebuat aku
agak nggak yakin sama hasil UAN nanti.
Aduh… mulai sekarang lupain semuanyan dulu deh. Tentang Kidung,
nenek, dan amanah menyebalkan itu sementara harus aku simpan di dalam peti
dengan gembok ganda, biar nggak ngerusak mood belajarku. Pokoknya sekarang aku harus fokus
ke UAN.
Ya, selama satu bulan ini aku harus belajar dan terus belajar. Nggak
ada waktu buat mikirin yang lain. Bangun tidur, sekolah, les, belajar, gitu
sterusnya sampai selesai ujian. Nggak apa-apa deh demi UI aku rela. Berjuang!
***
UAN baru aja kelar. Aduh lega banget rasanya. Rasanya beban beton
dikepalaku udah terlepas. Sekarang aku malah udah sibuk ngurusin rapat promnight.
Yah.. padahal yang lain enak-enakan libur sambil nungguin hasil kelulusan. Eh
aku malah sibuk dengerin Brian ketua panitia cuap-cuap nggak jelas. Daripada
ngeliatin whiteboard yang udah penuh sama tulisan Adel sang sekretaris mending tidur aja
deh. Siapa tau ngimpi ketemu Edward Cullen atau Duta Sheila on7 aja yang lokal
juga nggak apa-apa.
Zzz…zzz….
Huah… aku bangun dari mimpi indahku. Mataku masih susah buat melek.
Tapi kok ada yang janggal. Suara Brian yang dari tadi menuhin kuping kok udah
nggak kedengeran. Aku buka mata pelan-pelan.
“Aaa..! teriakku panik. Aduh siapa yang nggak kaget coba pas buka
mata ada sesosok mahkluk yang senyum-senyum tepat di depan muka.
“Kaget ya?” tanya Kidung sambil senyum-senyum.
“Iyalah, bego! Ngapain kamu di sini?!” ucapku ketus. Jaga image
dong. Ceritanya kan aku masih ngambek. Teganya dia diemin aku berbulan-bulan terus
sekarang maen nongol aja di depan mukaku. Kalau enggak inget gengsi udah aku
peluk nih orang. Sumpah, aku kangen banget.
“Baru juga bangun udah marah-marah. Mendingan lap dulu tuh iler,
belepotan kemana-mana.”
Aku reflek langsung ngusap-ngusap mulutku. Jatuh banget image-ku
kalau beneran ngiler. Tapi nggak ada basah-basah kok. Mulutku kering-kering aja
tuh. Kidung ketawa ngakak. Aku baru ngeh kalau aku lagi dikerjain kunyuk
satu ini. Aku langsung nimpuk kepala Kidung pake spidol yang ada di dekatku.
Untung bukan beton yang ada di sana. Bisa gagar otak dia kalau aku timpuk pake
beton.
“Bercanda kok. Aku kesini mau minta izin.”
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Di pesta prom nanti aku mau dateng bareng Adel.” ucap Kidung santai.
JEGER! Rasanya kayak ada petir di dadaku. Tiba-tiba aku ngerasa
pusing. Tahan Gupita, tahan.
“Oh! Ya sono! Ngapain minta izin segala, aku kan bukan siapa-siapa
kamu!” jawabku. Berusaha menahan pertahan benteng air mataku.
“Sekali muna tetep aja muna. Ya udah deh. Aku pulang duluan. Sebel
ngomong sama miss muna kayak kamu. Dadah.”
Cupp.
Kidung mengecup mesra keningku. Darahku langsung berdesir. Aduh,
kenapa aku nggak bawa cermin, pasti wajahku udah merah banget. Kidung berjalan
santai keluar ruangan meninggalkanku yang masih deg-deg-serr nggak karuan.
***
Hari ini pengumuman kelulusan. Yes, aku lulus. Dan beberapa minggu
lalu aku keterima masuk kedokteran UI lewat jalur beasiswa. Huaa.. senangnya.
Tapi hari ini aku nggak liat Kidung. Tadi aku sempat lihat namanya di daftar
siswa yang lulus, harusnya dia sekolah sekarang. Karena cuma yang nggak lulus
aja yang boleh libur.
Mataku beralih ke papan di sebelah papan pengumuman kelulusan, yaitu
papan pengumuman siswa yang keterima di perguruan tinggi. Aku cari nama Kidung
di sana. Ada. Kidung Arnawa, Adelaide
University, Australia.
Otot tubuhku langsung menegang. Ya tuhan.. Kidung akan kuliah di
Australia? Dan aku tetap di Jakarta? Itu tandanya kita akan terpisah jauh. Sudahlah, aku harus bergegas
pulang. Mempersiapkan untuk pesta prom nanti malam. Aku harap aku bisa menemukan Kidung di
sana.
***
Aku
celingukan mencari sosok Kidung. Tanpa dia, pesta promnight yang ramai ini pun jadi terasa sepi. Mungkin ini yang dinamakan
kesepian ditengah keramaian. Kidung dimana kamu? Aku berputar-putar sampai
tujuh kali namun tetap tak kutemukan Kidung. Sosok Adel terlihat di pintu masuk bersama seorang pria di
sampingnya. Kidung kah ia? Bukan. Kidung tak seputih itu. Kidung juga tidak
berkacamata. Kalau dia bukan Kidung lalu Kidung dimana?
Aku penasaran mengapa Adel tak datang bersama kidung. Aku menghampiri Adel. Belum sempat aku buka
mulut, Adel
sudah mendahuluiku bicara.
“Gupita, ini ada titipan surat dari Kidung.”
“Gupita, ini ada titipan surat dari Kidung.”
“Eh?” malah aku yang gelagapan. Adel meninggalkan aku yang masih kebingungan. Aku
membuka secarik kertas pemberian Adel tadi. Terlihat tulisan Kidung disana. Aku hafal
betul tulisan yang sulit dibaca itu.
Hai Miss. Muna....
Saat kamu baca surat ini ,mungkin aku udah
terbang ke negeri kangguru. Maaf ya nggak pamit. Kamu tau kan kalau aku paling
benci kata perpisahan. Makanya aku nggak mau pamitan. Ntar kalau aku tiba-tiba
nangis di depan kamu kan gengsi. Hahaha
Kita pasti
ketemu lagi kok,Pit. Di hari yang sama sebelum matahari terbenam. Aku tunggu
kamu di perpustakaan tempat biasa. 10 tahun lagi. Ingat ya Pita, 10 tahun lagi
sebelum matahari terbenam di perpustakaan.
Yang menyayangimu,
Kidung Arnawa
Kidung Arnawa
Aku tersenyum membacanya. Aku akan menunggumu Kidung Arnawa. Dan aku tak
akan memikirkan amanah itu lagi. Sudahlah, toh jodoh di tangan Tuhan.
***
10 tahun berselang....
Aku masih diam berdiri menghadap pintu masuk sejak
pagi tadi. Satu jam lagi matahari terbenam. Apa dia akan datang? Ataukah dia
akan mengingkari janji yang dibuatnya sendiri?
Aku masih terus menunggu
tanpa mengalihkan pandanganku dari pintu masuk. Ya Tuhan... sebentar lagi
matahari terbenam. Apa dia benar-benar lupa akan janjinya? Jantungku terus
berdetak semakin cepat.
“Hai, sudah lama menunggu?” sapa seorang pria
berkacamata yang menggendong anak kecil.
“Kidung?” tanyaku tak
yakin. Dia sungguh berubah. Semakin tampan apalagi dengan kacamata berbingkai
putih itu. Sungguh menawan. Aku langsung berhambur memeluknya. Rasa rinduku
sudah tak bisa terbendung lagi. Kidung melepas pelukanku pelan. Ada yang ganjil
disini.
“Kenapa?” tanyaku. Matanya
beralih pada anak kecil yang tadi digendongnya. Ya Tuhan... siapa gerangan anak
ini. Jangan-jangan....
“Anakmu?” tanyaku tak
mampu menutupi rasa khawatirku. Dalam hati aku berdoa kalau dugaanku salah.
Kidung tersenyum. Benteng
air mataku ambrol seketika. Ternyata Kidung sudah berkeluarga. Anak kecil itu
anaknya. Sungguh tampan seperti ayahnya.
Penantianku selama ini sia-sia. Ternyata, dengan atau tanpa adanya amanah itu akhir hidupku
tetap akan jadi perawan tua.
“Kenapa menangis?”
tanyanya. Aku masih tetap menangis. Kidung menyerahkan buku bersampul merah
setebal 8cm ke arahku.
“Bacalah, mungkin akan menenangkanmu. Aku tak bisa menemanimu lebih
lama. Pesawatku berangkat satu jam lagi. Aku harus cepat pergi. Senang bertemu denganmu, Pita.” ucapnya kemudian bergegas
pergi.
Harusnya nggak usah ada
pertemuan ini. Kalau tau akhirnya akan ada perpisahan lagi. Masih menangis aku
membuka buku merah itu. KAMUS JAWA KUNO, itu yang tertulis di sampulnya. Ada
pembatas buku di bagian dalamnya. Aku langsung membuka halaman itu.
GUPITA = NYANYIAN
Wauw... ternyata namaku
berasal dari bahasa jawa kuno yang berarti nyanyian. Hebat! Setelah sekian lama
aku baru tau arti namaku. Iseng aku mencari nama Kidung. Ketemu!
KIDUNG = NYANYIAN
Dadaku berdegup kencang.
Tak tau aku harus merasa bahagia atau sedih? Bahagia karena ternyata orang yang
selama ini aku sayang adalah orang yang dimaksud dalam amanahku. Atau sedih
karena ternyata Kidung telah milik orang lain. Yah... semuanya sudah terlambat.
Aku kembali menangis.
Tiba-tiba ada secarik kertas yang terjatuh dari buku merah yang ku dekap erat. Ku
pungut kertas itu dan ku baca perlahan.
Sudah tau arti nama
kita?
Kalau
masih percaya pada amanah, datanglah!
Temui
aku di bandara sekarang.
Tenang,
anak kecil tadi sepupuku.
Aku
masih setia menunggumu, Gupita.
Dan aku
masih lajang !
Nyanyian,
kidung dan Gupita, indah bukan?
Kau tak berubah Kidung, selalu
mengejutkanku.Kulipat kertas itu kembali. Sembari menghapus air mataku. Kini aku
bisa tersenyum tanpa beban. Aku harus
cepat ke bandara. Doakan aku ya temanJ
# THE END #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar